Headlines News :
Home » » Bersamamu Kuhabiskan Waktu,Senang Bisa Mengenal Dirimu (Catatan Harian KKNM Ludruker)

Bersamamu Kuhabiskan Waktu,Senang Bisa Mengenal Dirimu (Catatan Harian KKNM Ludruker)

Written By Ope on Saturday 20 August 2011 | 14:59

oleh : Purwaningtyas Permata Sari
(mahasiswi jurusan jurnalistik, fikom unpad)
foto bersama 
KKNM Unpad Skuad Bojongsari 2009
Rombongan mahasiwa Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) Unpad 2009 yang menuju Sukabumi sepertinya menempati jumlah terbanyak. Mereka diberangkatkan pada gelombang kedua (15/7). Bis pun berjajar mengelilingi Gedung PTBS Unpad, Jatinangor sejak pukul 06.00 WIB. Pihak Unpad sudah cukup kooperatif dalam mengatur pemberangakatan para mahasiswa ini sehingga semua mendapatkan tempat duduk di bis dan sampai di Sukabumi dengan selamat.
Sebuah kecamatan di Sukabumi, yakni Jampang Kulon adalah salah satu kecamatan yang “menampung” mahasiswa KKNM dalam jumlah banyak. Sedikitnya 300 mahasiswa menempati wilayah Jampang Kulon yang disebar ke dalam 10 desa. Bis-bis yang mengangkut mahasiswa tersebut tiba di Jampang Kulon sekitar pukul 16.00-16.30 WIB. Hampir semua datang serempak. Camat Jampang Kulon menyambut kedatangan mahasiswa dengan pidato singkatnya.
Di Jampang Kulon, terdapat sebuah desa atau kelurahan bernama Bojongsari. Letak desa ini tidak dilewati Jalan Raya Jampang Kulon. Jika mahasiswa ingin bepergian untuk sekedar berbelanja di pusat Kecamatan Jampang Kulon, maka mereka harus melewati beberapa desa. Jauh dari jalan utama membuat konstruksi denah di desa itu memungkinkan warganya untuk saling mengenal dari dusun satu ke dusun yang lain. Bojongsari layaknya kawasan eksklusif yang dihuni keluarga besar yang saling bertoleransi. Jalan yang terbentang sepanjang Bojongsari pun sangat jarang dilewati mobil, motor, atau bahkan angkutan umum sekali pun
Dua puluh delapan mahasiswa KKNM Unpad mendapat jatah tinggal di sana. Mereka tinggal di rumah sewaan yang letaknya persis di depan Balai Desa. Perasaan takut tidak diterima oleh masyarakat merasuki batin mereka. Namun, prasangka itu tereduksi ketika Kepala Desa Bojongsari Budi Pirmansyah menyambut mereka keesokan harinya
“Selamat datang saya ucapkan kepada adik-adik KKN. Saya harap kalian tidak perlu takut atau sungkan tidak akan diterima di desa ini sebab masyarakat di sini tidak pernah menuntut yang macam-macam dari peserta KKN. Tak usah membuat program yang muluk-muluk, yang penting kalian bisa berbaur dengan kami,” ujar Budi.
kades bojongsari 
Kades bojongsari dan wakordes dalam acara penyambutan
Wilayah Bojongsari cukup luas, yaitu 806,755 hektar. Tanah seluas itu sebagian besar dipergunakan untuk bercocok tanam. Hasilnya berupa kelapa, pisang, beras, dan singkong. Namun, sayang ketika musim kemarau tiba, tidak ada yang dihasilkan kebun-kebun warga karena mereka tidak memiliki saluran irigasi
“Jadi, kalau musim kemarau gini, ya, nggak bisa dapat uang dari tanaman-tanaman. Paling juga saya jualan gorengan,” kata Saipul, salah satu petani di sana.
Kebanyakan warga di sana berasal dari kalangan menengah ke bawah. Tak jarang mereka berada dalam kondisi sangat miskin. Banyak kepala keluarga yang hanya menghasilkan Rp. 10.000,00 per minggu. Mereka makan sehari-hari hanya dengan mengandalkan hasil tani dan sayur-sayuran dari kebun mereka. Terkadang beras yang sudah berhasil dipanen tidak dijual ke pasar, tetapi ditimbun untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka selama satu semester.
Perekonomian di desa ini tidak berprospek cerah. Warga yang berkecukupan secara ekonomi berasal dari kalangan pegawai negeri dan guru. Itu pun hanya sekitar 20% dari total penduduk di Bojongsari. Sulit sekali ditemukan wiraswastawan yang menjalankan usaha tertentu, hanya ada satu rental komputer yang dimiliki seorang guru, perajin bedog, dan perajin gula merah. Penghasilan mereka pun tidak banyak. Barang-barang hasil produksi rumah tangga pun tidak diproduksi.
“Di sini kalau mau jadi wiraswastawan, susah sekali. Tiap kali ada mahasiswa KKN yang mengajari untuk membuat produk tertentu, kebanyakan warga membuatnya. Itu yang bikin dagangan mereka nggak laku karena semuanya jualan. Siapa yang mau beli?” kata Pak Jani, Kepala Dusun Cijorong.
Hal itu dibenarkan oleh Rahmat, lelaki setengah baya yang sudah 25 tahun menjabat sebagai Sekretaris Desa Bojongsari. Selama ini warga sudah bosan dengan penyuluhan-penyuluhan dan pelatihan-pelatihan. Pada akhirnya, mereka akan menemui kegagalan. “Mereka sih asal bisa makan sehari aja udah cukup,” tandasnya.
Perekonomian desa itu yang tidak kunjung mengalami peningkatan disebabkan juga karena hadirnya tengkulak di desa mereka. Hasil-hasil bumi Bojongsari dari para produsen didistribusikan ke Sukabumi dan kota-kota lainnya melalui tengkulak.
Minah, pembuat gula merah, dalam sehari berpenghaslian tidak sampai Rp. 10.000,00 pendapatannya. Dia menyerahkan semua gula merah yang diproduksinya kepada tengkulak. Justru tengkulaklah yang meraup untung dari pendistribusian itu.
“Saya nggak ngerti cara menjualnya ke kota, transportasi juga nggak ada. Saya serahkan saja sama tengkulak,” kata Minah.
Kebanyakan petani dan produsen menyalurkan dagangan mereka lewat distribusi. Mereka tidak tahu bagaimana cara memasarkan produk mereka ke luar desa. Moda transportasi umum yang tidak melewati desa mereka turut menjadi alasan mengapa para petani atau produsen tidak memasarkan sendiri barang dagangan mereka. Selain itu, jarak tempuh dari Bojongsari ke Kota Sukabumi kira-kira memakan waktu 4 jam. Selain membuang tenaga dan uang, hal itu membuat mereka membuang-buang waktu.
Anggha Nugraha, peserta KKNM Unpad dari Fakultas Ekonomi menyoroti tidak berkembangnya home production adalah karena warga belum mendapatkan pengetahuan tentang cara mengelola uang pribadi dan uang hasil usaha. Pergerakan uang di desa itu tidak stabil dan tidak lancar.
“Selain tidak tahu tentang manajemen keuangan usaha, mereka juga tidak tahu cara mempromosikan dagangan mereka dengan benar,” kata Anggha.
Selain permasalahan ekonomi, permasalahan yang menonjol lainnya di desa itu adalah tidak kompaknya perangkat pemerintahan desa dengan masyarakat. Tahun lalu, masyarakat pernah membuat demonstrasi yang berisi tuntutan kepada kepala desa agar mundur dari jabatannya
Menurut Asep, Ketua Barudak Leuwinanggung Community, masyarakat merasakan bahwa perangkat desa tidak transparan dalam hal keuangan dan dalam berkegiatan. Tak jarang, informasi dari Balai Desa tidak sampai ke warga yang berada di dusun terjauh, yakni Nyalindung. Misalkan saja, informasi tentang kedatangan beras miskin (raskin) terlambat sampai ke Nyalindung. Akibatnya warga dari Nyalindung sering kehabisan jatah membeli raskin.
“Seringnya, ya, antara pemerintah desa dengan warga teh, nggak punya kegiatan bersama. Contohnya aja, kalau tujuh belasan, pemuda mah bikin acara sendiri, pemerintah desa bikin acara sendiri juga,” kata Asep.
Melihat kerenggangan hubungan antara pemerintah desa dan masyarakat, Koordinator Mahasiswa Desa Bojongsari Rizal Budiman bersama teman yang lain berusaha membuat program yang bisa merekatkan hubungan kedua belah pihak tersebut. Salah satu program unggulan dari mahasiswa KKNM 2009 di desa itu adalah mengadakan open house balai desa yang diberi nama Geger Desa.
geger desa 
aparat desa dalam acara pembukaan geger desa
Geger Desa ini selain sebagai ajang open house balai desa, juga merupakan penggabungan beberapa program dari berbagai sektor; ekonomi, lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. Dalam acara tersebut ada pentas seni yang menampilkan tarian dan nyanyian anak-anak SD, penyuluhan dalam keempat aspek tersebut, pengadaan pasar kaget, bazaar kreativitas anak-anak SMP, dan penampilan pencak silat dari jajaran pemerintah desa
geger desaRamainya pengunjung geger desa
“Alhamdullilah, acara yang baru pertama kali diselenggarakan di Bojongsari ini mendapat apresiasi yang bagus dari warga dan terhitung sukses. Tujuan utama kami adalah untuk memperdekat hubungan pemerintah desa dengan warga. Kami juga berharap acara Geger Desa ini bisa berulang di tahun-tahun berikutnya,” ungkap Rizal yang juga mahasiswa Fikom Unpad.
bazar smpBazar SMP di geger desa
Semakin lama, mahasiswa KKNM ini merasa semakin dekat dengan warga. Tak jarang dalam satu minggu, mereka mendapat undangan untuk ngaliwet bersama warga, entah di rumah warga atau di sawah sekali pun. Mahasiswa pun tak sungkan untuk sekedar bertandang ke rumah warga demi mempererat tali silaturahmi.
ngaliwetNgaliwet bersama warga
Tisya Rahayu, mahasiswa yang fasih berbahasa Sunda ini mengakui bahwa warga Bojongsari menerima mereka dengan tangan terbuka. Dia dan beberapa teman yang fasih berbahasa Sunda “memimpin” misi mendekatkan diri dengan warga. Berbagai cara pun ditempuh; mengajak warga membuat rujak, bercengkerama di Balai Desa, mengikuti acara pengajian, sampai membantu urusan rumah tangga.
“Kita hidup di sini kan istilahnya numpang, jadi kita harus baik terhadap mereka agar diterima. Syukur bahwa kita ternyata bisa diterima di desa ini,” kata Tisya.
Hal yang menjadi rutinitas mahasiswa KKNM tiap sore adalah bermain bersama anak-anak SD dan SMP di balai desa. Dhea Karlina , mahasiswa Fikom Unpad, yang sangat suka pada anak kecil menggagas hal ini. Segala permainan pun dipersiapkan, mulai dari dakon, lompat tali, kucing-kucingan, tebak-tebakan, dan hingga ular tangga. Semua mahasiswa senang mendengar canda tawa anak-anak kecil dengan bermain bersama mereka. Menjelang malam, anak-anak kembali ke perpustakaan yang terletak di balai desa untuk sekedar mendapat bimbingan kakak-kakak mahasiswa dalam membuat PR.
bermainBermain bersama anak - anak di balai desa
“Aku dan teman-teman mahasiswa senang bisa bermain dan belajar bareng anak kecil. Hal itu mungkin nggak akan pernah kita rasakan di realitas kita di Bandung nanti. Mumpung masih di sini, kami ingin berbagi keceriaan dengan mereka,” ungkap Dhea dengan mata berbinar.
Usaha mahasiswa KKNM itu pun diapresiasi warga dengan baik. “Sejak ada mahasiswa KKNM Unpad kali ini, balai desa jadi ramai. Anak-anak jadi rajin belajar sambil bermain. Mereka seolah-olah menularkan hal-hal positif pada anak-anak,” kata Bu Elis, salah satu aparatur desa yang mengurusi Posyandu.
Khusus untuk mahasiswa laki-laki, mereka memiliki cara khusus dalam melakukan pendekatan dengan warga, yakni bermain sepak bola setiap sore di lapangan Bojongsari. Ajakan itu datang setelah mereka tinggal di sana selama seminggu. Karena seringnya nongkrong di pangkalan ojek, beberapa mahasiswa laki-laki menjadi akrab dengan pemuda desa dan pada akhirnya diajak bermain bola.
“Kita senang sekali bisa bermain bola dengan warga, baik pemuda maupun bapak-bapak. Nggak apa-apalah meski harus setiap hari capek,” kata Giano, mahasiswa KKNM.
bermain bolaBermain bola bersama warga
Hal senada diungkapkan pula oleh Asep yang mengakui mahasiswa KKNM Unpad kali ini lebih bisa bergaul dengan warga. “Ya, mahasiswa KKN tahun lalu mah nggak ada apa-apanya dibandingkan sekarang. Mereka bisa memosisikan diri sebagai warga. Para pemuda di sini pun tak canggung untuk bercanda dengan mahasiswa soalnya mereka asyik-asyik.”
Mendekati akhir keberadaan mereka di Bojongsari, mereka pun membuat sebuah acara perpisahan, yaitu acara nonton bareng film Laskar Pelangi. Acara ini dipenuhi oleh warga dan tentu saja kebanyakan yang hadir adalah anak-anak yang selama ini menjalani kebersamaan dengan kakak-kakak mahasiswa.
Acara yang diselenggarakan di balai desa malam itu (15/8) dipenuhi haru dan tangis perpisahan. Penayangan slide show yang berisi foto-foto kebersamaan mahasiswa dan warga pun menambah suasana menjadi sedih. Kepala desa dan beberapa aparatur desa menangis diam-diam di sudut balai desa sebelum para mahasiswa menyalami mereka dan warga lainnya.
“Suatu saat aku ingin bisa menjadi seperti kakak-kakak mahasiswa, bisa kuliah dan mencapai cita-citaku. Aku menempelkan kertas bertuliskan cita-citaku di langit-langit kamarku, sesuai dengan ajaran Kak Dhea. Suatu saat aku pasti bisa menjadi seperti mereka,” kata Andre, siswa SMPN 4 Jampang Kulon, yang begitu terkesan dengan kedatangan mahasiswa KKNM Unpad.
Seny Perwitasari, mahasiswa Fisip Unpad, juga sama terkesannya dengan Andre dalam menjalani KKNM saat itu. “KKN itu bikin kita tahu dari yang kita nggak tahu, dari yang nggak punya jadi punya, seperti keluarga baru yang merupakan teman-teman KKN kita sendiri. Kita bisa belajar untuk memahami sifat orang. Ini merupakan pengalaman berharga dan hanya didapat sekali seumur hidup.”
Dan alunan lagu Sahabat Kecil milik Ipang dinyanyikan oleh mahasiswa KKN seiring dengan turunnya malam yang semakin larut pada malam terakhir mereka di sana, “Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu. Rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya. Janganlah berakhir…” (Purwaningtyas Permata Sari, Warta LPPM)
Tulisan ini di salin dari blog Tyas Permata sari
www.elisabetyas.wordpress.com

Share this post :

Post a Comment

 
Support : Powered by Seven Fashion | Member of Seven Network | Manage by Seven Media
Copyright © 2013. opezone.blogspot.com - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger