Ada enam prinsip utama yang membedakan antara Ahlus Sunnah wal Jamaah dan golongan lain.
PRINSIP AHLUSUNNAH YANG PERTAMA: IKHLAS DALAM BERIBADAH
Ikhlas menurut arti bahasa: membersihkan
atau memurnikan sesuatu dari kotoran. Sedangkan menurut istilah syar’i,
ikhlas adalah membersihkan dan memurnikan ibadah dari segala jenis
kotoran syirik.
Setelah diketahui pengertian ikhlas
menurut pengertian syar’i, dapat diambil kesimpulan bahwa orang
dikatakan ikhlas dalam beribadah apabila ia bertauhid dan meninggalkan
segala jenis syirik.
Perlu diketahui, bahwa seseorang itu
dikatakan bertauhid apabila meyakini dengan mantap tiga jenis tauhid dan
meninggalkan dua jenis syirik. Lalu apa saja tiga jenis tauhid yang
harus diyakini?
Tauhid yang pertama: Tauhid Rububiyyah,
maksudnya kita harus yakin bahwa yang mencipta, yang memberi rezeki dan
yang mengatur alam semesta hanya Allah Ta’ala tidak ada sekutu
bagi-Nya.
Tauhid yang kedua: Tauhid Uluhiyyah,
maksudnya yakin bahwa yang berhak disembah dan diberikan segala bentuk
peribadatan hanyalah Allah Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.
Tauhid yang ketiga: Tauhid Asma’ wa Sifat,
maksudnya kita harus yakin bahwa Allah Ta’ala memiliki Nama dan Sifat
yang Mulia dan tidak sama dengan makhluk-Nya. Kita harus meyakini
seluruh Nama dan Sifat Allah yang ada di dalam Alquran dan Assunnah apa
adanya.
Setelah meyakini ketiga jenis tauhid
ini, maka wajib meninggalkan dua jenis syirik yang menjadi musuh bagi
orang-orang yang bertauhid.
Syirik yang pertama disebut Syirik Akbar,
yaitu syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Syirik jenis
ini amat banyak jumlah dan macamnya, di antaranya adalah: meyakini ada
yang mencipta dan yang mengatur alam ini selain Allah Ta’ala, meminta
rejeki atau jodoh kepada orang yang telah mati atau kepada jin, menolak
sebagian atau seluruh Nama dan Sifat Allah Ta’ala dan masih banyak
bentuk lainnya.
Syirik yang kedua disebut Syirik Asyghar,
yaitu syirik kecil yang tidak menyebabkan pelakunya dikeluarkan dari
Islam. Namun dosanya lebih besar daripada dosa zina, dosa mencuri atau
kemaksiatan lainnya. Di antara amalan yang termasuk jenis syirik ini
adalah riya’ (ingin dilihat oleh orang ketika beribadah), sum’ah (ingin
didengar ibadahnya oleh orang lain), bersumpah dengan nama selain Allah,
memakai jimat dengan keyakinan bahwa kekuatannya bersumber dari Allah.
Untuk yang satu ini bila diyakini bahwa sumber kekuatan itu dari
jimatnya, maka sudah termasuk Syirik Akbar. Dan masih banyak lagi
macamnya.
Siapa saja yang telah meyakini tiga
jenis tauhid dan meninggalkan dua jenis syirik ini, maka dia telah
ikhlas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Inilah prinsip utama Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang terus diperjuangkan. Anda bisa melihat, mereka
terus berdakwah menegakkan tauhid dan memberantas segala penyakit syirik
walaupun banyak kalangan yang menentangnya, mereka memiliki dasar
Alquran Surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya: “Dan tidaklah mereka
diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan cara ikhlas dalam
melaksanakan agama-Nya dan Hanif (meninggalkan segala jenis syirik)
...”
PRINSIP AHLUSUNNAH YANG KEDUA: BERSATU DI ATAS ALQURAN DAN ASSUNNAH DENGAN PEMAHAMAN SALAFUL UMMAH
Banyak aktivis Islam yang saat ini
menyerukan persatuan umat. Ada yang menggunakan partai sebagai alat
pemersatu, ada juga yang menggunakan suku bangsa bahkan ada juga yang
menyatukan umat dengan slogan “yang penting muslim”, walaupun keyakinan
dan prinsip hidupnya berbeda-beda. Akibatnya terjadi banyak perpecahan
di kalangan mereka karena masing-masing memiliki kepentingan yang
berbeda. Kalaupun secara dhohir mereka bersatu, banyak prinsip Alquran
dan Assunnah yang dikorbankan dalam rangka menjaga persatuan antara
mereka.
Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki prinsip
persatuan yang mantap dan akan terus diperjuangkan. Apa itu? Yaitu
bersatu di atas Al Quran dan Assunnah dengan pemahaman salaful ummah.
Mengapa harus bersatu diatas Alquran dan
Assunnah? Karena ini memang perintah dari Allah dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Ali
Imran ayat 103: “Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah seluruhnya dan
jangan kalian berpecah belah ...”
Ibnu Mas’ud radliyallahu ’anhu berkata: “Tali Allah artinya Kitabullah”. (Tafsir Ibnu Jarir dan lainnya)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Aku tinggalkan sesuatu untuk kalian. Bila kalian berpegang
teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik, Al-Hakim dan dihasankan oleh
Al-Albani dalam Al-Misykah no: 186)
Bila ada yang berkomentar, “Banyak
kelompok yang mengklaim dirinya di atas Alquran dan Assunnah, namun
kenapa terjadi perbedaan prinsip dan cara pandang yang menyebabkan
mereka terpecah belah?” Untuk menjawab pertanyaan ini cukup mudah,
“Karena mereka memahami Alquran dan Assunnah dengan kemampuan akal yang
disesuaikan dengan keinginan dan kepentingan kelompoknya”.
Lalu bagaimana seharusnya? Dalam
memahami Alquran dan Assunnah wajib merujuk kepada pemahaman dan
penjelasan dari Salaful Ummah. Siapa sebenarnya Salaful Ummah itu?
Mereka adalah para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang
betul-betul paham maksud Al Quran dan Assunnah karena merekalah yang
langsung mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mengapa harus sesuai dengan pemahaman
mereka, bukankah mereka juga manusia seperti kita? Karena mereka dan
orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka telah diridlai oleh Allah
Ta’ala. Di dalam surat At-Taubah ayat 100 disebutkan yang artinya:
“Generasi pertama dari kalangan shahabat Muhajirin dan Ashor serta
orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka dengan baik, Allah ridla
kepada mereka dan merekapun ridla kepada-Nya”.
Di samping itu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam juga memerintahkan kita untuk mengikuti pemahaman para
shahabat. “Sesungguhnya barang siapa yang masih hidup sepeninggalku
nanti,ia akan melihat perbedaan prinsip yang banyak sekali, untuk itu
wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang
mendapat petunjuk, peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham
dan jauhilah perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam
agama itu bid’ah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud no:
4607). Inilah prinsip persatuan umat yang harus dijadikan sebagai
pegangan.
Barang siapa yang menggunakan cara lain
untuk menyatukan umat maka ia akan menuai kegagalan atau mungkin
berhasil tetapi bersatu diatas kebatilan. Wallahu A’lam.
PRINSIP AHLUSUNAH YANG KETIGA:
LARANGAN MEMBERONTAK DAN KEWAJIBAN MENTAATI PENGUASA MUSLIM YANG SAH
DALAM HAL YANG MA’RUF (BENAR)
Menggulingkan kekuasaan pemerintah pada
saat ini seolah-olah menjadi tujuan kebanyakan orang. Mereka ingin tokoh
idolanya menjadi pemegang tampuk kekuasaan, lebih-lebih bila sang
penguasa memiliki banyak kelemahan walaupun masih sah dan beragama
Islam, mereka berusaha mati-matian untuk menggulingkan dengan
mengatasnamakan rakyat dan keadilan. Ada juga yang memanfaatkan keadaan
untuk merebut pangkat dan jabatan dengan cara membela sang penguasa
habis-habisan bahkan membenarkan seluruh ucapan dan keputusan walaupun
menyimpang jauh dari syari’at Islam. Lalu bagaimana prinsip Al Quran dan
Assunnah menurut pemahaman salaful ummah dalam menyikapi sang penguasa ?
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’
ayat 59 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rosul dan Ulil Amri (pemimpin/penguasa muslim)...”
Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan maksud ayat ini sebagai berikut:
“Allah memerintahkan untuk taat kepada
Ulil Amri, mereka adalah pemimpin negara, hakim atau mufti (ahli fatwa).
Karena urusan agama dan dunia tidak akan berjalan dengan baik melainkan
dengan cara taat dan tunduk kepada Ulil Amri sebagai wujud taat kepada
perintah Allah dan dalam rangka mengharap pahala dari-Nya. Akan tetapi
dengan syarat penguasa tidak memerintah kita untuk berbuat maksiat. Bila
diperintah untuk maksiat maka tidak ada ketaatan sedikitpun kepada
makhluk untuk bermaksiat kepada Al-Khaliq. Barangkali inilah rahasia
tidak disebutkannya fi’il amr (kata perintah) ketika Allah memerintahkan
untuk taat kepada Ulil Amri dan sebaliknya disebutkan fi’il amr ketika
memerintah untuk taat kepada Rasul-Nya. Karena beliau hanya memerintah
untuk mentaati Allah, sehingga barang siapa yang mentaati beliau sama
saja dengan mentaati Allah Ta’ala. Adapun Ulil Amri baru ditaati bila
tidak memerintah untuk bermaksiat.”
Dalam hadits shahih disebutkan, dari Ubadah bin Shomit, Radiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah mengambil janji setia kepada kami, agar kami mendengar dan taat
(kepada penguasa) baik dalam keadaan bersemangat atau lesu, dalam
keadaan sulit atau mapan meskipun kami dizalimi, dan agar kami tidak
menggulingkan kekuasaan lalu beliau bersabda: “Kecuali kalian melihat
ada kekufuran yang nyata (pada penguasa) dan kalian memiliki dalil dari
Allah dalam masalah tersebut.” (HR. Muslim/1709, Nasa’i dan lainnya)
Dari keterangan Al Quran dan Assunnah
inilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah berprinsip bahwa: Wajib bagi kita
mentaati penguasa muslim yang sah dalam hal yang ma’ruf (bukan maksiat)
dan haram menggulingkan kekuasaannya dengan alasan apapun kecuali
memenuhi dua syarat yang telah dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz
rahimahullah setelah membawakan hadits di atas. Apa dua syarat tersebut?
Syarat pertama: Adanya kekufuran yang nyata pada diri sang penguasa dan kita menemukan dalil syar’i dalam masalah kekufuran tersebut.
Syarat kedua: Adanya kemampuan untuk menyingkirkan penguasa tersebut dengan cara yang tidak menimbulkan madlarat yang lebih besar.
Tanpa kedua syarat ini, maka tidak boleh! (Al-Ma’lum min Wajibil ‘Alaqoh Bainal Hakim wal Mahkum hal. 19)
Wahai kaum muslimin, kembalilah kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Wallahul musta’an.
PRINSIP AHLUSUNAH YANG KEEMPAT: MENGGAPAI KEMULIAAN DENGAN ILMU SYAR’I
Kita semua sepakat bahwa tujuan hidup
manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala
sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Al Quran surat Adz-Dzariyat
ayat 56. Oleh sebab itu, merupakan keharusan bagi kita untuk mengerti,
apa yang dimaksud ibadah itu? Apakah ibadah hanya sebatas shalat, puasa,
haji atau yang lainnya? Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-’Ubudiyyah
halaman 38 menjelaskan bahwa ibadah itu mencakup segala perkara yang
dicintai dan diridlai Allah Ta’ala baik berupa ucapan merupakan
perbuatan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.
Setelah kita mengerti makna ibadah, kita
wajib mengerti macam-macam ibadah secara terperinci agar kita bisa
menunaikan tugas dengan baik dan benar. Dari sini timbul pertanyaan,
dari mana kita bisa mengetahui secara rinci macam-macam ibadah yang
dicintai dan diridlai Allah Ta’ala? Mampukah akal kita menyimpulkan
sendiri perincian tugas ibadah itu?
Untuk mengetahui secara rinci ibadah
yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala tidak bisa disimpulkan dengan
akal kita, tetapi harus ada petunjuk langsung dari Allah Ta’ala yang
menugaskan kita untuk beribadah kepada-Nya. Petunjuk itu bernama Al
Quran dan Assunnah yang telah dijelaskan secara rinci oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya radliyallahu ‘anhu.
Singkat kata, wajib bagi kita mempelajari Al Quran dan Assunnah agar
kita bisa menunaikan tugas ibadah dengan baik dan benar. Perlu
diketahui, bahwa Al Quran dan Assunnah itulah yang disebut Ilmu Syar’i
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma dan
lainnya. Lihat “Al-Ilmu Asy-Syar’i” halaman 8-10 karya Abdurrahman Abul
Hasan Al-’Aizuri.
Oleh sebab itu, siapa saja yang
mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya berarti ia telah menjalankan
tugas ibadah dengan baik dan benar, barang siapa yang telah menunaikan
tugas ibadah dengan baik, ia layak mendapat kemuliaan dan kehormatan
dari Allah Ta’ala. Di dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 disebutkan:
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian.”
As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya
halaman 846 berkata: “Di dalam ayat ini terdapat keutamaan ilmu syar’i,
dan buah dari ilmu itu adalah beradab dan beramal atas dasar ilmu
tersebut.”
Dalam hadits shahih juga ditegaskan:
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka Allah jadikan paham agama ini.”
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani
rahimahullah dalam Fathul Bari juz 1 halaman 222 menjelaskan : “Dari
hadits ini dapat dipahami, bahwa orang-orang yang tidak paham agama dan
dasar-dasarnya, ia tidak akan mendapat kebaikan sedikitpun”.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memahami hal
ini, untuk itu mereka gigih dan bersemangat untuk mempelajari ilmu
syar’i dan mengamalkannya dengan baik dan benar, mereka punya prinsip
yang mantap dan mengagumkan, yakni Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal,
untuk menggapai kemuliaan. Wallahul musta’an.
PRINSIP AHLUSUNNAH YANG KELIMA: MEYAKINI BAHWA WALI ALLAH ADALAH ORANG YANG BERIMAN DAN BERTAKWA
Bila kita amati sejenak keadaan umat,
kita akan dapati satu masalah yang sangat memasyarakat di tengah mereka.
Adegan-adegan luar biasa yang membuat sebagian orang merasa kagum, ada
yang tidak mempan ditusuk senjata tajam, ada yang bisa makan beling
seperti makan kerupuk, ada yang tidak penyet digilas mobil, ada yang
kepalanya dipenggal lalu bisa langsung sambung dan yang sejenisnya.
Anehnya para penonton yang kebanyakan
umat Islam banyak yang memberi gelar kehormatan “WALI ALLAH” kepada para
pendekar kebanggaan mereka. Benarkah orang-orang sakti seperti itu
disebut Wali Allah? Apa sebenarnya pengertian dan ciri-ciri Wali Allah
menurut Al Quran dan As-Sunnah?
Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya :
“Ingatlah, sesungguhnya Wali Allah itu
tidak akan takut dan bersedih hati, mereka adalah orang-orang yang
beriman dan bertaqwa.” (QS. Yunus: 62)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya
(2/422) menjelaskan: “Allah Ta’ala menyatakan bahwa wali-Nya adalah
orang beriman dan bertaqwa, maka siapa saja yang benar-benar bertaqwa
maka ia layak disebut wali Allah Ta’ala”.
Di dalam Al Quran banyak disebutkan ciri-ciri Wali Allah, diantaranya adalah :
Ciri pertama: Beriman dan bertaqwa (QS. Yunus : 62)
Ciri kedua: Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (QS. Ali Imran : 31)
Ciri ketiga:
Mencintai dan dicintai Allah Ta’ala karena mereka sayang kepada kaum
muslimin dan tegas dihadapan orang kafir, mereka berjihad fii sabilillah
dan tidak takut celaan apapun. (QS. Al-Maidah : 54)
Di dalam As-Sunnah As-Shohihah yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Ar-Riqoq Bab At-Tawadlu’
(7/190) dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan ciri wali Allah, yaitu mereka
rajin mengamalkan amalan-amalan sunnah setelah menunaikan amalan wajib.
Lalu, apakah hal-hal yang luar biasa yang terjadi pada diri seseorang itu termasuk ciri utama Wali Allah?
Perlu diketahui bahwa hal-hal yang luar biasa yang terjadi pada diri seseorang itu ada beberapa jenis:
1. Mu’jizat, terjadi pada nabi dan rasul.
2. Irhash, terjadi pada calon nabi dan rasul.
3. Karamah, terjadi pada wali Allah selain nabi dan rasul.
4. Istidroj atau sihir, terjadi pada wali syaithon.
Dari sini dapat diketahui bahwa Wali
Allah itu kadang-kadang diberi hal-hal yang luar biasa dan ini disebut
karamah, namun perlu diingat bahwa karamah ini bukan ciri utama Wali
Allah dan tidak bisa dipelajari. Adapun adegan-adegan luar biasa yang
saat ini semarak di masyarakat lebih condong kepada istidroj atau sihir
dengan beberapa alasan :
Alasan pertama, pelakunya tidak memiliki ciri-ciri Wali Allah Ta’ala.
Alasan kedua, hal-hal
yang luar biasa yang mereka tampilkan bisa dipelajari, terbukti mereka
punya perguruan-perguruan yang mengajarkan seperti itu.
Singkat kata, Ahlus Sunnah wal Jama’ah
berkeyakinan bahwa Wali Allah itu adalah orang yang beriman dan bertaqwa
baik mendapat karamah maupun tidak, Wallahu A’lam.
PRINSIP AHLUSUNNAH KEENAM : MENSUKSESKAN GERAKAN TASHFIYAH (PEMURNIAN) & TARBIYAH (PENDIDIKAN)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya
Al-Mu’allimi dalam kitabnya Fadhlullah As-Shomad (1/17) menyatakan, ada
tiga penyebab perpecahan dan kelemahan kaum muslimin saat ini. Pertama:
tidak bisa membedakan antara ajaran Islam yang murni dengan ajaran yang
disusupkan ke dalam Islam. Kedua: kurang yakin dengan kebenaran Islam.
Ketiga: tidak mengamalkan Islam secara utuh.
Benarlah apa yang pernah disabdakan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para shahabatnya. Dari
Abu Najih Al-’Irbadl bin Sariyah radliyallahu ‘anhu ia bercerita: “Suatu
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada
kita, nasehat itu membuat hati bergetar: “Wahai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, sepertinya nasehat ini adalah nasehat perpisahan,
untuk itu berilah kami wasiat!” Maka beliaupun bersabda: “Aku wasiatkan
kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tetap
mendengar dan taat (dalam hal yang baik - pent) walaupun kalian
diperintah oleh penguasa dari budak Habsyi. Sesungguhnya, siapa saja di
antara kalian yang masih hidup sepeninggalku nanti, pasti melihat banyak
perselisihan, maka wajib atas kalian untuk tetap berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah Khulafaurrosyidin yang mendapat petunjuk, peganglah
sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham (jangan sampai lepas) dan
jauhilah perkara-perkara baru yang disusupkan ke dalam agama karena
sesungguhnya setiap perkara baru yang disusupkan ke dalam agama itu
bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’
nomor: 2546)
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dengan jelas menyatakan bahwa penyebab perpecahan umat
dan kelemahannya adalah tidak bisa membedakan antara sunnah beliau dan
bid’ah yang disusupkan ke dalam ajaran agama. Disamping itu beliau juga
memberikan solusinya dengan cara berpegang teguh dan mengamalkan sunnah
beliau, yakni ajaran Islam yang murni.
Berangkat dari sinilah, Ahlus Sunnah wal
Jamaah berusaha sekuat tenaga untuk mensukseskan gerakan Tashfiyah dan
Tarbiyah. Lalu apa yang dimaksud dengan Tashfiyah dan Tarbiyah itu?
Tashfiyah adalah gerakan pemurnian
ajaran Islam dengan cara menyingkirkan segala keyakinan, ucapan maupun
amalan yang bukan berasal dari Islam. Sedangkan Tarbiyah adalah usaha
mendidik generasi muslim dengan ajaran Islam yang murni, yang
berdasarkan Al Quran dan Assunnah dengan pemahaman para Shahabat
Radliyallahu ‘anhum ajma’in.
Dalam rangka mensukseskan gerakan ini,
Ahlus Sunnah wal Jamaah terus menerus memperingatkan umat dari segala
bentuk penyimpangan baik berupa kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan maupun
kemaksiatan, di samping itu juga meluruskan penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi baik yang ada di kitab-kitab yang tersebar di kalangan umat
maupun pernyataan-pernyataan sesat dari para penyesat. Dan yang
termasuk program ini adalah memisahkan antara hadits shahih dengan
hadits dha’if, ini semua dinilai sebagai amar ma’ruf nahi munkar yang
menjadi kewajiban kita semua.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
Menyuruh umat untuk mengikuti sunnah dan melarang mereka dari kebid’ahan
termasuk amar ma’ruf nahi munkar dan termasuk amal shaleh yang paling
utama”. (Minhajus Sunnah: 5/253)
Semoga dengan gerakan Tashfiyah dan
Tarbiyah ini, kaum muslimin sadar dan mau kembali ke agama Islam yang
murni sehingga pertolongan Allah turun kepada kita. Wallahul musta’an.
Rujukan:
1. Syarh Al-Ushul As-Sittah, Asy-Syaikh Utsaimin.
2. Tanbih Dzamil Uqul As-Salimah, Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri
3. Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar, Asy-Syaikh Abdul Malik Ramdloni.
4. At-Tashfiyyah Wat-Tarbiyyah, Asy-Syaikh Ali Hasan
5. Tafsir Al-Karimir Rahman, Asy-Syaikh As-Sa’di.
6. Qowaid wa Fawaid, Asy-Syaikh Nadlim Muhammad Sulthon.
7. Karamatu Auliya’illah, Al-Imam Al-Lalikai.
8. Al-Furqon Baina Auliya ‘ir rahman wa Auliya’ is syaithan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Artikel: salafy.or.id
Post a Comment