Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi
Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah
lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah.
Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik
versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014
dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi
angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka
didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via
social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan
media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya
akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya
pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari
pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang
dikeluarkan KPK Watch tidak dirilis di media cetak atau media elektronik.
Apakah Anda melihat ada yang aneh dari perhitungan Indeks
Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan oleh KPK Watch di atas? Coba
perhatikan. Data yang diambil adalah jumlah Koruptor Parpol dari tahun
2002-2014. Sedangkan angka pembanding yang digunakan adalah jumlah suara di
Pemilu 2009. Padahal dari periode 2002-2014 tersebut ada 2 kali pemilihan
anggota legislatif yaitu tahun 2004 dan 2009. Koruptor yang tertangkap di tahun
2002-2004 adalah anggota legislatif yang melewati proses pileg tahun 1999. Koruptor
yang tertangkap antara tahun 2004-2009 adalah anggota legislatif yang melewati
proses pileg tahun 2004. Dan Koruptor yang tertangkap antara tahun 2009-2014
adalah anggota legislatif yang melewati proses pileg tahun 2009. Sedangkan -sekali
lagi- angka indeks diperoleh dengan mengakumulasikan jumlah koruptor sejak
tahun 2002-2014 lalu membandingkannya dengan jumlah suara pada pileg tahun 2009
saja. Tentu saja ini sangat absurd. Jika ingin membandingkan dengan jumlah
suara pada pileg tahun 2009, seharusnya data jumlah koruptor yang digunakan adalah
selama masa 2009-2014, bukan akumulasi dari tahun 2002-2014. Harus menjadi
pertanyaan bagi kita semua mengapa KPK Watch mengambil data akumulasi dari
tahun 2002-2014 dan membandingkannya dengan (hanya) jumlah suara tahun 2009? Apakah
murni hanya karena ketidakpahaman dalam metode perhitungan saja?
Hal yang aneh lainnya adalah jika kita melihat detail data jumlah koruptor pada partai politik tersebut. Kita ambil contoh data koruptor dari partai Hanura:
Hal yang aneh lainnya adalah jika kita melihat detail data jumlah koruptor pada partai politik tersebut. Kita ambil contoh data koruptor dari partai Hanura:
Dari gambar di atas terungkap bahwa koruptor yang dimasukkan ke dalam sistem perhitungan dan dibagi dengan angka pembanding (jumlah perolehan suara partai pada pemilu 2009) tidak hanya anggota legislatif saja, Bupati dan mantan Kades juga dimasukkan ke dalam angka ini. Tentu ini lebih absurd lagi. Bagaimana bisa Bupati dan Mantan Kades yang perolehan suaranya tidak diperoleh dari pemilu legislatif 2009 dimasukkan ke dalam perhitungan dan diproses dengan angka pembanding suara partai dari pemilu legislatif 2009?
Contoh data koruptor yang dirilis oleh KPK Watch kita ambil dari partai Golkar:
Selain
Bupati, mantan Kades yang dimasukkan ke dalam data ini ada juga Ketua
MK, Caleg dan 'Gunung Kidul'. Dua jabatan yang terakhir ini sangat tidak
jelas maksudnya. Apakah caleg yang ikut pileg namun gagal memperoleh
kursi sebagai anggota legislatif? Lebih tidak jelas lagi dengan jabatan
'Gunung Kidul'. Jabatan Gunung Kidul ini masuk ke dalam pemilu yang
mana? Pileg? Pilpres? Pilkada? atau Pilkades?
Keanehan-keanehan membuat metoda perhitungan dari KPK Watch sangat tidak pantas untuk diproses lebih lanjut, apalagi jika dijadikan bahan untuk menilai indeks korupsi sebuah partai. Cara perhitungan ini mengandung kesalahan sistemik yang menimbulkan rambatan kesalahan terhadap KESIMPULAN yang dibuat.
Keanehan-keanehan membuat metoda perhitungan dari KPK Watch sangat tidak pantas untuk diproses lebih lanjut, apalagi jika dijadikan bahan untuk menilai indeks korupsi sebuah partai. Cara perhitungan ini mengandung kesalahan sistemik yang menimbulkan rambatan kesalahan terhadap KESIMPULAN yang dibuat.
Lalu jika seandainya pun angka indeks korupsi ini tidak
absurd, dan menggunakan metoda penghitungan yang benar, bagaimanakah
pengaruhnya terhadap pemilu legislatif 2014?
Sejak tahun 1955-1999 Pemilu Legislatif di Indonesia
menggunakan sistem proporsional tertutup. Pada model pemilu seperti ini
masyarakat hanya memilih tanda gambar partai saja. Anggota legislatif akan
ditentukan oleh partai berdasarkan jumlah perolehan suara partai. Tahun 2004
Indonesia menerapkan pemilu legislatif proporsional semi terbuka. Di sini
masyarakat tidak memilih partainya tetapi memilih calon-calon legislatif. Hanya
saja model ini tidak 100% terbuka karena nomor urut caleg masih sangat menentukan
berhasil atau tidaknya orang atau caleg tersebut memperoleh kursi.
Mulai tahun 2009 Pemilu Legislatif di Indonesia sudah
menerapkan pemilu proporsional terbuka 100%. Masyarakat memilih caleg sesuai
dengan keinginannya. Data-data caleg dibuka untuk masyarakat umum. Nomor urut
caleg tidak menentukan perolehan kursi. Semua caleg baik nomor urut atas
ataupun bawah mendapat peluang yang sama terhadap perolehan kursi. Maka sistem proporsional
terbuka ini dinilai banyak kalangan sebagai sistem pemilu yang paling ideal. Masyarakat
tidak lagi membeli kucing dalam karung. Mereka menentukan sendiri siapa caleg
yang akan mewakili aspirasi mereka nantinya.
Kalau saat ini yang digunakan adalah pemilu dengan sistem
proporsional terbuka, maka Indeks korupsi Partai Politik yang dibuat oleh KPK
Watch di atas tidak bisa disangkutpautkan terhadap partai politik JIKA korupsi tersebut
dilakukan secara individual. Karena yang dipilih oleh masyarakat adalah anggota
legislatifnya, bukan partainya. Pada korupsi yang dilakukan secara individual,
Partai tidak memiliki peran terhadap kasus-kasus tersebut. Jika demikian
adanya, kalau masyarakat menilai bahwa anggota parlemen yang sebelumnya adalah
politisi busuk dan korup, maka pilihlah caleg2 baru yang berkualitas, apapun
partainya untuk menggantikan politisi2 lama yang busuk.. yang absensi kehadiran
rapatnya saja dikorupsi.
Akan sangat berbeda permasalahannya jika korupsi dilakukan
secara sistematis oleh partai, bukan individual. Pada korupsi yang berlangsung
secara sistematis oleh partai, bagaimanapun kualitas seorang caleg, jika ia
berhasil mendapat kursi maka kemungkinan ia melakukan korupsi menjadi besar.
Karena korupsi sudah tersistimatis dalam partai tersebut. Jika demikian maka Indeks
Korupsi di atas dapat disangkutpautkan terhadap partai politik
Namun, pembahasan ini bukan berniat untuk memunculkan peran mana yang lebih dominan dalam kasus korupsi. Apakah sebagai organisasi/sistem atau individual, karena pada dasarnya sistem dan individu harus sama-sama memiliki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraannya.
Namun, pembahasan ini bukan berniat untuk memunculkan peran mana yang lebih dominan dalam kasus korupsi. Apakah sebagai organisasi/sistem atau individual, karena pada dasarnya sistem dan individu harus sama-sama memiliki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraannya.
Dua hal yang bisa kita simpulkan dari pembahasan system pemilu
legislatif saat ini dan hubungannya dengan Indeks Korupsi Partai Politik yang
dikeluarkan oleh KPK Watch di atas adalah:
- Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch tersebut telah menggiring persepsi masyarakat untuk kembali kepada metoda pemilu model proporsional tertutup di mana masyarakat memilih Partai Politiknya, bukan calon anggota legislatifnya.
- Karena Angka Indeks Korupsi hanya bisa disangkutpautkan terhadap Partai Politik jika korupsi dilakukan secara sistematis oleh partai tersebut (bukan dilakukan secara individual), maka faktor ini harus dimasukkan pada metoda penghitungan Angka Indeks Korupsi tersebut. Harus dilakukan pembobotan terhadap bagaimana tersistimatisnya korupsi tersebut berlangsung di dalam partai, apakah terkait pada partai atau tidak dan bagaimana peran pelaku korupsi di partai. Tentu saja jika ketua partai yang melakukan korupsi maka kemungkinan korupsi dilakukan secara sistematis akan menjadi lebih besar daripada jika hanya kader partai yang melakukan korupsi.
Lalu jika demikian apa kepentingannya Indeks Korupsi Partai Politik
tersebut dikeluarkan? Karena pemilu legislative saat ini menggunakan sistem proporsional
terbuka maka Indeks Korupsi Parpol yang dikeluarkan oleh KPK Watch tersebut
bukan bertujuan untuk mencegah politisi-politisi busuk masuk ke dalam lembaga
legislatif. Jika ingin mencegah politisi-politisi seperti itu masuk lembaga legislatif,
yang dikupas tentunya bukan partainya, tapi caleg-caleg yang bermasalah dari
partai tersebut.
Karena Indeks tersebut memiliki metoda penilaian yang absurd saya pun hanya bisa meraba-raba apa kepentingan dibalik dikeluarkannya indeks tersebut. Apalagi dengan peringatan “waspadai partai di atas indeks 1.5”. Darimana angka indeks 1.5 itu diperoleh semakin membuat penilaian ini menjadi lebih absurd dan membuat kita bisa membaca apa kepentingan di balik dikeluarkannya penilaian absurd ini. Dari sini, harus menjadi pertanyaan kritis bagi kita semua: apakah lembaga KPK Watch ini adalah lembaga yang qualified ataukah lembaga abal-abal yang dibuat dengan kepentingan tertentu?
Tapi
apapun itu mulailah kita berpolitik dengan dasar yang bener bukan berbohong.
Source
Post a Comment