Headlines News :
Home » , , » Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL

Written By Bengkel Las Tasikmalaya on Saturday, 22 March 2014 | 10:24

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah.
http://invite4job.com/?id=27460


Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch tidak dirilis di media cetak atau media elektronik.

Apakah Anda melihat ada yang aneh dari perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan oleh KPK Watch di atas? Coba perhatikan. Data yang diambil adalah jumlah Koruptor Parpol dari tahun 2002-2014. Sedangkan angka pembanding yang digunakan adalah jumlah suara di Pemilu 2009. Padahal dari periode 2002-2014 tersebut ada 2 kali pemilihan anggota legislatif yaitu tahun 2004 dan 2009. Koruptor yang tertangkap di tahun 2002-2004 adalah anggota legislatif yang melewati proses pileg tahun 1999. Koruptor yang tertangkap antara tahun 2004-2009 adalah anggota legislatif yang melewati proses pileg tahun 2004. Dan Koruptor yang tertangkap antara tahun 2009-2014 adalah anggota legislatif yang melewati proses pileg tahun 2009. Sedangkan -sekali lagi- angka indeks diperoleh dengan mengakumulasikan jumlah koruptor sejak tahun 2002-2014 lalu membandingkannya dengan jumlah suara pada pileg tahun 2009 saja. Tentu saja ini sangat absurd. Jika ingin membandingkan dengan jumlah suara pada pileg tahun 2009, seharusnya data jumlah koruptor yang digunakan adalah selama masa 2009-2014, bukan akumulasi dari tahun 2002-2014. Harus menjadi pertanyaan bagi kita semua mengapa KPK Watch mengambil data akumulasi dari tahun 2002-2014 dan membandingkannya dengan (hanya) jumlah suara tahun 2009? Apakah murni hanya karena ketidakpahaman dalam metode perhitungan saja? 

Hal yang aneh lainnya adalah jika kita melihat detail data jumlah koruptor pada partai politik tersebut. Kita ambil contoh data koruptor dari partai Hanura:



Dari gambar di atas terungkap bahwa koruptor yang dimasukkan ke dalam sistem perhitungan dan dibagi dengan angka pembanding (jumlah perolehan suara partai pada pemilu 2009) tidak hanya anggota legislatif saja, Bupati dan mantan Kades juga dimasukkan ke dalam angka ini. Tentu ini lebih absurd lagi. Bagaimana bisa Bupati dan Mantan Kades yang perolehan suaranya tidak diperoleh dari pemilu legislatif 2009 dimasukkan ke dalam perhitungan dan diproses dengan angka pembanding suara partai dari pemilu legislatif 2009?

Contoh data koruptor yang dirilis oleh KPK Watch kita ambil dari partai Golkar:



Selain Bupati, mantan Kades yang dimasukkan ke dalam data ini ada juga Ketua MK, Caleg dan 'Gunung Kidul'. Dua jabatan yang terakhir ini sangat tidak jelas maksudnya. Apakah caleg yang ikut pileg namun gagal memperoleh kursi sebagai anggota legislatif? Lebih tidak jelas lagi dengan jabatan 'Gunung Kidul'. Jabatan Gunung Kidul ini masuk ke dalam pemilu yang mana? Pileg? Pilpres? Pilkada? atau Pilkades?
Keanehan-keanehan membuat metoda perhitungan dari KPK Watch sangat tidak pantas untuk diproses lebih lanjut, apalagi jika dijadikan bahan untuk menilai indeks korupsi sebuah partai. Cara perhitungan ini mengandung kesalahan sistemik yang menimbulkan rambatan kesalahan terhadap KESIMPULAN yang dibuat.
Lalu jika seandainya pun angka indeks korupsi ini tidak absurd, dan menggunakan metoda penghitungan yang benar, bagaimanakah pengaruhnya terhadap pemilu legislatif 2014? 
Sejak tahun 1955-1999 Pemilu Legislatif di Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup. Pada model pemilu seperti ini masyarakat hanya memilih tanda gambar partai saja. Anggota legislatif akan ditentukan oleh partai berdasarkan jumlah perolehan suara partai. Tahun 2004 Indonesia menerapkan pemilu legislatif proporsional semi terbuka. Di sini masyarakat tidak memilih partainya tetapi memilih calon-calon legislatif. Hanya saja model ini tidak 100% terbuka karena nomor urut caleg masih sangat menentukan berhasil atau tidaknya orang atau caleg tersebut memperoleh kursi.
 
Mulai tahun 2009 Pemilu Legislatif di Indonesia sudah menerapkan pemilu proporsional terbuka 100%. Masyarakat memilih caleg sesuai dengan keinginannya. Data-data caleg dibuka untuk masyarakat umum. Nomor urut caleg tidak menentukan perolehan kursi. Semua caleg baik nomor urut atas ataupun bawah mendapat peluang yang sama terhadap perolehan kursi. Maka sistem proporsional terbuka ini dinilai banyak kalangan sebagai sistem pemilu yang paling ideal. Masyarakat tidak lagi membeli kucing dalam karung. Mereka menentukan sendiri siapa caleg yang akan mewakili aspirasi mereka nantinya.
Kalau saat ini yang digunakan adalah pemilu dengan sistem proporsional terbuka, maka Indeks korupsi Partai Politik yang dibuat oleh KPK Watch di atas tidak bisa disangkutpautkan terhadap partai politik JIKA korupsi tersebut dilakukan secara individual. Karena yang dipilih oleh masyarakat adalah anggota legislatifnya, bukan partainya. Pada korupsi yang dilakukan secara individual, Partai tidak memiliki peran terhadap kasus-kasus tersebut. Jika demikian adanya, kalau masyarakat menilai bahwa anggota parlemen yang sebelumnya adalah politisi busuk dan korup, maka pilihlah caleg2 baru yang berkualitas, apapun partainya untuk menggantikan politisi2 lama yang busuk.. yang absensi kehadiran rapatnya saja dikorupsi.
Akan sangat berbeda permasalahannya jika korupsi dilakukan secara sistematis oleh partai, bukan individual. Pada korupsi yang berlangsung secara sistematis oleh partai, bagaimanapun kualitas seorang caleg, jika ia berhasil mendapat kursi maka kemungkinan ia melakukan korupsi menjadi besar. Karena korupsi sudah tersistimatis dalam partai tersebut. Jika demikian maka Indeks Korupsi di atas dapat disangkutpautkan terhadap partai politik

Namun, pembahasan ini bukan berniat untuk memunculkan peran mana yang lebih dominan dalam kasus korupsi. Apakah sebagai organisasi/sistem atau individual, karena pada dasarnya sistem dan individu harus sama-sama memiliki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraannya.  
Dua hal yang bisa kita simpulkan dari pembahasan system pemilu legislatif saat ini dan hubungannya dengan Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan oleh KPK Watch di atas adalah:

  1.  Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch tersebut telah menggiring persepsi masyarakat untuk kembali kepada metoda pemilu model proporsional tertutup di mana masyarakat memilih Partai Politiknya, bukan calon anggota legislatifnya.
  2. Karena Angka Indeks Korupsi hanya bisa disangkutpautkan terhadap Partai Politik jika korupsi dilakukan secara sistematis oleh partai tersebut (bukan dilakukan secara individual), maka faktor ini harus dimasukkan pada metoda penghitungan Angka Indeks Korupsi tersebut. Harus dilakukan pembobotan terhadap bagaimana tersistimatisnya korupsi tersebut berlangsung di dalam partai, apakah terkait pada partai atau tidak dan bagaimana peran pelaku korupsi di partai. Tentu saja jika ketua partai yang melakukan korupsi maka kemungkinan korupsi dilakukan secara sistematis akan menjadi lebih besar daripada jika hanya kader partai yang melakukan korupsi.
Lalu jika demikian apa kepentingannya Indeks Korupsi Partai Politik tersebut dikeluarkan? Karena pemilu legislative saat ini menggunakan sistem proporsional terbuka maka Indeks Korupsi Parpol yang dikeluarkan oleh KPK Watch tersebut bukan bertujuan untuk mencegah politisi-politisi busuk masuk ke dalam lembaga legislatif. Jika ingin mencegah politisi-politisi seperti itu masuk lembaga legislatif, yang dikupas tentunya bukan partainya, tapi caleg-caleg yang bermasalah dari partai tersebut. 

Karena Indeks tersebut memiliki metoda penilaian yang absurd saya pun hanya bisa meraba-raba apa kepentingan dibalik dikeluarkannya indeks tersebut. Apalagi dengan peringatan “waspadai partai di atas indeks 1.5”. Darimana angka indeks 1.5 itu diperoleh semakin membuat penilaian ini menjadi lebih absurd dan membuat kita bisa membaca apa kepentingan di balik dikeluarkannya penilaian absurd ini. Dari sini, harus menjadi pertanyaan kritis bagi kita semua: apakah lembaga KPK Watch ini adalah lembaga yang qualified ataukah lembaga abal-abal yang dibuat dengan kepentingan tertentu?

Tapi apapun itu mulailah kita berpolitik dengan dasar yang bener bukan berbohong.
Source
Share this post :

Post a Comment

 
Support : Powered by Seven Fashion | Member of Seven Network | Manage by Seven Media
Copyright © 2013. opezone.blogspot.com - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger