by ope
“Saya
jadi terpikir, mungkin kita sudah kembali ke zaman Mpu Gandring karena kalau
keris sudah dicabut pasti ada orang yang mati. Ini sama dengan saya karena saya
sudah jadi tersangka, saya pasti salah. Kenapa tidak dari tanggal 26 Januari
saja saya dinyatakan bersalah dan dihukum.” (Miranda S Gultom, Pirkiran Rakyat
28 September 2012)
“Kalau tidak terbukti jangan disalah kan Miranda” (Agus Condro, Pikiran Rakyat
28 September 2012)
Berita tentang korupsi
sepertinya sudah menjadi makanan sehari hari rakyat Indonesia. Nyatanya rakyat
Indonesia tidak henti hentinya dijejali headline kasus korupsi yang sekarang
sudah menjalar diberbagai sector pemerintahan yang tidak lepas dari
keterlibatan swasta terutama dalam hal proyek proyek besar pemerintahan. Sejak
dibentuknya KPK memang kasus kasus korupsi ini semakin menjadi bahan berita
yang tak pernah habis dan tentunya untuk media adalah sumber berita yang
bernilai komersial. Dukungan social media yang semakin berkembang terutama
situs situs jejaring social yang semakin mudah diakses membuat rakyat semakin
mudah berpendapat dan memberikan penilaian kritis terhadap berbagai hal yang
sedang hangat terjadi termasuk salah satunya kasus korupsi
Dampak nyatanya fungsi
control rakyat terhadap pemerintahan yang menjalankan mandat semakin terasa dan
seakan menjadi kekuatan tersendiri yang siap menggulingkan pemerintahan kapan saja
seandainya ada tindakan pemerintahan yang dianggap tidak sesuai dengan norma
aturan dan hukum yang berlaku atau kebijakan kebijakan yang dianggap kurang
berpihak kepada rakyat. Dukungan teknologi social media semakin terasa sebagai
fasilitator kebebasan rakyat bersuara, yang berujung pada terbentuknya opini
umum yang bisa menjadi sebuah kekuatan
opini dan tidak bisa diremehkan pengaruhnya.
Opini sendiri terbentuk
tidak terlepas dari hal yang terjadi disekitar dan ekspos media yang kadang
terlalu berlebihan dan menggiring opini
ke satu titik tertentu. Bahayanya ketika satu opini digulirkan seseorang
dan diekspos media terus menerus sementara, tidak semua orang punya pemikiran
kritis terhadap opini yang bergulir, maka sebagian ada yang tergiring pada satu opini tertentu
sehingga menjadikan opini tersebut sebuah opini umum dan mempunyai kekuatan
besar. Semakin banyak yang sepakat dengan opini tersebut maka semakin besar
kekuatan opini tersebut.
Kekuatan opini sendiri
bisa terbentuk dalam berbagai hal termasuk dalah ranah ekonomi, social, agama,
budaya, hukum, politik dan berbagai ranah lainya. Di Indonesia kekuatan opini
ini terasa sekali dalam ranah agama dan hukum. Disini penulis tidak akan
menyoroti dalam ranah agama, namun dalam ranah hukum yang kerap berhubungan
dengan individu dan institusi dalam suatu kasus. Peran media di sini sangat besar
pengaruhnya dalam membentuk opini public atau opini umum. Misalnya dalam kasus
korupsi yang semakin banyak macam bentuk, pelaku dan motifnya. Semakin banyak
kasus korupsi yang diekspos kepada rakyat disertai opini nara sumber yang
kadang malah memprovokasi, maka yang
tidak kritis dan tergiring opini media akan memunculkan public opinion yang memberikan penilaian umum bahwa ada yang tidak
beres dengan pemerintahan keseluruhan termasuk sumber daya manusia didalamnya.
Kalau sudah begitu akan sangat berbahaya ketika kasus korupsi sudah memasuki
ranah personal atau pelaku korupsi.
Kita tahu dalam hukum
ada asas praduga tak bersalah atau presumption
of inocenne yang memberikan hak kepada semua individu untuk melakukan
pembelaan dengan berbagai bukti yang ada sampai ditetapkan dari saksi menjadi
tersangka atau malah bebas jika tidak terbukti terlibat. Sayangnya di Indonesia
based my opinion seorang pelaku
pidana misal korupsi secara implicit seperti tidak diberi ruang memberikan
penjelasan atau pembuktian dirinya bersalah atau tidak (kalau secera explicit
memang pelaku diberi ruang sesuai aturan yang berlaku) karena sudah terdorong opini negative yang sudah terbentuk lebih cepat dibanding
ketetapan hukum terhadap pelaku. Akibatnya, opini yang terbentuk seolah menjadi ketetapan hukum
yang tak resmi bagi pelaku walaupun masih berstatus saksi dan belum menjadi
tersangka bahkan belum dijatuhkan vonis oleh pengadilan.
Kondisi seperti ini
diperburuk dengan track record institusi
hukum dan aparatnya yang buruk dengan banyaknya kasus suap dan mafia hukum
menjadikan rayat seolah tidak percaya dengan kredibilitas institusi tersebut
walaupun, penulis yakin tidak semuanya begitu. Sehingga dalam kondisi ketidakpercayaan
pada institusi hukum, akan sangat
berpengaruh ketika institusi tersebut menangani kasus korupsi atau kasus-kasus
lainya. Walaupun hukum negara harus ditegakan namun akan menjadi dilematis
ketika pada akhirnya seorang pelaku benar benar terbukti memang tidak terlibat
korupsi, maka keputusan pengadilan dan bukan berarti suudzon terkesan sedikit
akan dipengaruhi opini public yang sudah terbentuk sebelumnya bahwa sipelaku
itu bersalah.
Tekanan ini akan sangat berat bagi hakim, disatu sisi
ketika memang seorang tidak bersalah maka harus dibebaskan dan namanya di
bersihkan, disisi lain akan menilai ada udang dibalik batu ketika pelaku
divonis bebas dan menilai buruk kredibilitas hakim dan institusi. Seperti kasus
dibandung dimana pangadilan tipikor menjatuhkan vonis bebas terhadap beberapa
mantan kepala daerah tersangka korupsi. Memang terbukti ada skandal namun bisa
saja dari sekian tersangka ada yang memang benar benar tidak bersalah, namun
karena tekanan dan opini negative yang
terbentuk sebelumnya terpaksa harus dihukum dan divonis bersalah.
Kasus lainya yang
paling hangat adalah vonis majelis hakim tipikor Jakarta yang menyatakan
bersalah Miranda S Gultom, tersangka kasus cek pelawat pemilihan Deputi
Gubernur Senior BI periode 1999-2004 yang melibatkan Nunun nurbaeti dan komisi
IX DPR RI periode tersebut. Nunun dan seluruh anggota DPR Komisi IX sudah
divonis terlebih dahulu karena memang secara sah terbukti langsung dalam kasus
cek pelawat ini. Sementara Miranda S Gultom baru pada 27 September 2012 lalu di
vonis 3 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah. Kendati tak ada bukti langsung
mengarah keterlibatan Miranda S Gultom namun majelis hakim berkeyakinan bahwa
Miranda bersalah berdasarkan adanya rangkaian kejadian dengan saksi yang
dihadirkan yang sudah terbukti bersalah menerima cek pelawat.
Menggelitik memang
melihat kasus ini, bukan berarti penulis membela Miranda dan meragukan
keputusan hakim. Namun, apabila kita berkaca pada aturan dan hukum tentunya
ketika belum adanya bukti yang kuat adalah fair ketika sidang itu berlanjut
sampai ada bukti baru atau vonis bebas. Kalau seperti ini terlihat kesan hukum
yang dipaksakan akibat tekanan opini negative public yang secara implisit
seakan menjadi ketetapan hukum. So,
apakah hukum yang berlaku di Indonesia ini hukum opini atau kah hukum negara
beserta mekanisme yang berlakunya.
Menarik juga pernyataan
Miranda ketika keris mpu gandring sudah dicabut (status tersangka) maka pasti
ada yang mati (dihukum). Sepertinya pelaku yang sudah menjadi tersangka
walaupun ada ruang kesempatan pembelaan, sulit sekali bisa membuktikan bersalah
atau tidak karena ada kekuatan lain yakni hukum opini yang lebih dahulu terbentuk
dan seakan menjadi sebuah vonis terhadap
pelaku. Walaupun persidangan belum selesai dan belum terbukti kuat tersangka
berbuat demikian.
Kasus yang lebih
mengerikan hukum opini adalah apabila hukum opini ini sudah tak terkendali dan
menyentuh kasus kasus kecil di masyarakat yang kerap menerapkan street law atau hukum jalanan. Dengan
dalih ketidakpercayaan terhadap institusi dan sering ada ketidakpuasan atas
putusan pengadilan terhadap wong cilik, menjadikan masyarakat membuat
pengadilan sendiri dan bermain hakim sendiri atas kasus yang terjadi. Yang
paling dikhawatirkan sekarang adalah begitu mudahnya menggerakan massa hanya
dengan sebatas opini atau penilaian kasat mata seseorang atau beberapa orang
terhadap seorang pelaku kejahatan. Hal ini diperburuk dengan tindak kekerasan
yang biasanya langsung terjadi di TKP dan bukan diserahkan kepada yang
berwajib, sehingga tidak memberikan ruang pembelaan atau penjelasan bagi pelaku
karena tidak sedikit yang berujung maut sebelum terbukti bersalah atau tidak.
Contoh kongkret adalah
kasus curanmor di kota Tasikmalaya yang belum lama terjadi. TKP berada di
kawasan wisata Kota Tasikmalaya, berawal dari seorang pengunjung yang membawa
motor bukan miliknya ketempat tersebut, yang pada saat pulang sepertinya lupa
motor yang mana yang ia pakai sehingga mencoba motor yang ada dengan kunci
motor yang sebelumnya ia bawa. Secara kasat mata orang menilai bahwa orang
tersebut adalah pencuri motor bukan orang baik. Sehingga ketika beberapa orang
mengeluarkan suara bahwa itu maling, massa disekitar langsung menangkap dan
menghajar hingga babak belur bahkan sampai meninggal dan tidak sempat
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Ini tentunya menjadi
sebuah pembelajaran bagi kita agar kita selalu menggunakan kepala dingin dan
mempertimbangkan segala sesuatunya dalam bertindak. Berikan lah kesempatan
kepada setiap orang untuk menjelaskan dan membuktikan dahulu sebelum mengambil
keputusan. Orang yang secara kasat mata bersalah, belum tentu secara fakta begitu. Coba posisikan lah
diri kita seakan akan kita menjadi pelaku, maka kita juga akan merasa perlu
sebuah kesempatan menjelaskan baik bersalah atau pun tidak
Sebagaimana yang telah
dicontohkan Rasulullah SAW dahulu, ketika diriwayatkan ada kasus pencuri oleh
seorang warganya. Pencuri itu tertangkap dan beradasarkan hukum islam orang
tersebut harus dipotong tanganya. Namun, Rasulullah sebelum menjatuhkan vonis
meminta agar pencuri tersebut diberi kesempatan menjelaskan apa motif utama nya
ia mencuri. Si pencuri menjelaskan bahwa ia mencuri karena sudah tidak kuat
menahan lapar dan memang terbukti karena terpaksa, maka Rasulullah pun
membebaskan pencuri tersebut. Secara tindakan mungkin salah, tetapi kalau
secara penilaian manusiawi dan kondisi yang menyebabkan keterpaksaan melakukan
hal demikian tentu tidak bisa disalahkan. Bahkan yang haram pun bisa menjadi
halal ketika berurusan dengan perut dan dihadapkan pada keadaan yang terbatas.
Tapi bukan berarti mencuri dihalalkan, namun yang disoroti disini adalah
kesempatan pembelaan, pembuktian dan penyelidikan perlu dilakukan sebelum
menjatuhkan vonis. Bagaimanapun penulis tidak setuju apabila pelaku kasus
criminal dibebaskan begitu saja, hanya setiap motif nya mempunyai takaran
hukuman yang berbeda-beda.
Pada akhirnya penulis
mengajak kepada masyarakat untuk lebih cerdas dalam menanggapi berbagai opini
yang muncul baik lewat media ataupun yang sedang hangat dimasyarakat. Jangan
mudah terpancing dan menjudge seseorang
bersalah tanpa adanya proses hukum terlebih dahulu, apa yang kita lihat kasat
mata belum tentu faktanya seperti itu. Sehingga pada akhirnya kita terhindar
dari suudzon yang bisa merugikan orang lain.
Tulisan ini hanya
sebatas opini penulis yang tergugah menyampaikan pendapat atas hal yang penulis
lihat, rasakan dan analisis. Bukan semata bentuk dukungan terhadap korupsi,
orang tertentu atau meragukan sebuah institusi. Namun setidaknya kita harus
belajar objektif, tidak mudah terpengaruh atau tergiring opini kilat yang tidak
kita saring terlebih dahulu. Bagaimanapun kita sebagai WNI punya hak dan
kewajiban yang sama mentaati aturan yang berlaku. Bukan berarti kita tidak
boleh beropini, namun kita harus melihat dulu secara menyeluruh sebelum melakukan
tindakan atau beropini, karena bisa saja apa yang kita lontarkan atau lakukan
akan merugikan orang lain. Pikirkanlah kalau seandainya itu terjadi pada kita,
dengan begitu kita akan lebih bijak dalam bertindak dan menilai.
Post a Comment