Headlines News :
Home » » HUKUM OPINI ATAU HUKUM NEGARA YANG BERLAKU DI INDONESIA?

HUKUM OPINI ATAU HUKUM NEGARA YANG BERLAKU DI INDONESIA?

Written By Ope on Monday, 8 October 2012 | 01:06

by ope

“Saya jadi terpikir, mungkin kita sudah kembali ke zaman Mpu Gandring karena kalau keris sudah dicabut pasti ada orang yang mati. Ini sama dengan saya karena saya sudah jadi tersangka, saya pasti salah. Kenapa tidak dari tanggal 26 Januari saja saya dinyatakan bersalah dan dihukum.” (Miranda S Gultom, Pirkiran Rakyat 28 September 2012)
Kalau tidak terbukti jangan disalah kan Miranda” (Agus Condro, Pikiran Rakyat 28 September 2012)


Berita tentang korupsi sepertinya sudah menjadi makanan sehari hari rakyat Indonesia. Nyatanya rakyat Indonesia tidak henti hentinya dijejali headline kasus korupsi yang sekarang sudah menjalar diberbagai sector pemerintahan yang tidak lepas dari keterlibatan swasta terutama dalam hal proyek proyek besar pemerintahan. Sejak dibentuknya KPK memang kasus kasus korupsi ini semakin menjadi bahan berita yang tak pernah habis dan tentunya untuk media adalah sumber berita yang bernilai komersial. Dukungan social media yang semakin berkembang terutama situs situs jejaring social yang semakin mudah diakses membuat rakyat semakin mudah berpendapat dan memberikan penilaian kritis terhadap berbagai hal yang sedang hangat terjadi termasuk salah satunya kasus korupsi

Dampak nyatanya fungsi control rakyat terhadap pemerintahan yang menjalankan mandat semakin terasa dan seakan menjadi kekuatan tersendiri yang siap menggulingkan pemerintahan kapan saja seandainya ada tindakan pemerintahan yang dianggap tidak sesuai dengan norma aturan dan hukum yang berlaku atau kebijakan kebijakan yang dianggap kurang berpihak kepada rakyat. Dukungan teknologi social media semakin terasa sebagai fasilitator kebebasan rakyat bersuara, yang berujung pada terbentuknya opini umum  yang bisa menjadi sebuah kekuatan opini dan tidak bisa diremehkan pengaruhnya. 

Opini sendiri terbentuk tidak terlepas dari hal yang terjadi disekitar dan ekspos media yang kadang terlalu berlebihan dan menggiring opini  ke satu titik tertentu. Bahayanya ketika satu opini digulirkan seseorang dan diekspos media terus menerus sementara, tidak semua orang punya pemikiran kritis terhadap opini yang bergulir, maka sebagian  ada yang tergiring pada satu opini tertentu sehingga menjadikan opini tersebut sebuah opini umum dan mempunyai kekuatan besar. Semakin banyak yang sepakat dengan opini tersebut maka semakin besar kekuatan opini tersebut. 

Kekuatan opini sendiri bisa terbentuk dalam berbagai hal termasuk dalah ranah ekonomi, social, agama, budaya, hukum, politik dan berbagai ranah lainya. Di Indonesia kekuatan opini ini terasa sekali dalam ranah agama dan hukum. Disini penulis tidak akan menyoroti dalam ranah agama, namun dalam ranah hukum yang kerap berhubungan dengan individu dan institusi dalam suatu kasus. Peran media di sini sangat besar pengaruhnya dalam membentuk opini public atau opini umum. Misalnya dalam kasus korupsi yang semakin banyak macam bentuk, pelaku dan motifnya. Semakin banyak kasus korupsi yang diekspos kepada rakyat disertai opini nara sumber yang kadang malah memprovokasi, maka  yang tidak kritis dan tergiring opini media akan memunculkan public opinion yang memberikan penilaian umum bahwa ada yang tidak beres dengan pemerintahan keseluruhan termasuk sumber daya manusia didalamnya. Kalau sudah begitu akan sangat berbahaya ketika kasus korupsi sudah memasuki ranah personal atau pelaku korupsi. 

Kita tahu dalam hukum ada asas praduga tak bersalah atau presumption of inocenne yang memberikan hak kepada semua individu untuk melakukan pembelaan dengan berbagai bukti yang ada sampai ditetapkan dari saksi menjadi tersangka atau malah bebas jika tidak terbukti terlibat. Sayangnya di Indonesia based my opinion seorang pelaku pidana misal korupsi secara implicit seperti tidak diberi ruang memberikan penjelasan atau pembuktian dirinya bersalah atau tidak (kalau secera explicit memang pelaku diberi ruang sesuai aturan yang berlaku)  karena sudah terdorong opini negative  yang sudah terbentuk lebih cepat dibanding ketetapan hukum terhadap pelaku. Akibatnya, opini  yang terbentuk seolah menjadi ketetapan hukum yang tak resmi bagi pelaku walaupun masih berstatus saksi dan belum menjadi tersangka bahkan belum dijatuhkan vonis oleh pengadilan. 

Kondisi seperti ini diperburuk dengan track record institusi hukum dan aparatnya yang buruk dengan banyaknya kasus suap dan mafia hukum menjadikan rayat seolah tidak percaya dengan kredibilitas institusi tersebut walaupun, penulis yakin tidak semuanya begitu. Sehingga dalam kondisi ketidakpercayaan  pada institusi hukum, akan sangat berpengaruh ketika institusi tersebut menangani kasus korupsi atau kasus-kasus lainya. Walaupun hukum negara harus ditegakan namun akan menjadi dilematis ketika pada akhirnya seorang pelaku benar benar terbukti memang tidak terlibat korupsi, maka keputusan pengadilan dan bukan berarti suudzon terkesan sedikit akan dipengaruhi opini public yang sudah terbentuk sebelumnya bahwa sipelaku itu bersalah. 

Tekanan  ini akan sangat berat bagi hakim, disatu sisi ketika memang seorang tidak bersalah maka harus dibebaskan dan namanya di bersihkan, disisi lain  akan menilai ada udang dibalik batu ketika pelaku divonis bebas dan menilai buruk kredibilitas hakim dan institusi. Seperti kasus dibandung dimana pangadilan tipikor menjatuhkan vonis bebas terhadap beberapa mantan kepala daerah tersangka korupsi. Memang terbukti ada skandal namun bisa saja dari sekian tersangka ada yang memang benar benar tidak bersalah, namun karena tekanan  dan opini negative yang terbentuk sebelumnya terpaksa harus dihukum dan divonis bersalah.

Kasus lainya yang paling hangat adalah vonis majelis hakim tipikor Jakarta yang menyatakan bersalah Miranda S Gultom, tersangka kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior BI periode 1999-2004 yang melibatkan Nunun nurbaeti dan komisi IX DPR RI periode tersebut. Nunun dan seluruh anggota DPR Komisi IX sudah divonis terlebih dahulu karena memang secara sah terbukti langsung dalam kasus cek pelawat ini. Sementara Miranda S Gultom baru pada 27 September 2012 lalu di vonis 3 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah. Kendati tak ada bukti langsung mengarah keterlibatan Miranda S Gultom namun majelis hakim berkeyakinan bahwa Miranda bersalah berdasarkan adanya rangkaian kejadian dengan saksi yang dihadirkan yang sudah terbukti bersalah menerima cek pelawat. 

Menggelitik memang melihat kasus ini, bukan berarti penulis membela Miranda dan meragukan keputusan hakim. Namun, apabila kita berkaca pada aturan dan hukum tentunya ketika belum adanya bukti yang kuat adalah fair ketika sidang itu berlanjut sampai ada bukti baru atau vonis bebas. Kalau seperti ini terlihat kesan hukum yang dipaksakan akibat tekanan opini negative public yang secara implisit seakan menjadi ketetapan hukum. So, apakah hukum yang berlaku di Indonesia ini hukum opini atau kah hukum negara beserta mekanisme yang berlakunya. 

Menarik juga pernyataan Miranda ketika keris mpu gandring sudah dicabut (status tersangka) maka pasti ada yang mati (dihukum). Sepertinya pelaku yang sudah menjadi tersangka walaupun ada ruang kesempatan pembelaan, sulit sekali bisa membuktikan bersalah atau tidak karena ada kekuatan lain yakni hukum opini yang lebih dahulu terbentuk dan seakan menjadi sebuah vonis  terhadap pelaku. Walaupun persidangan belum selesai dan belum terbukti kuat tersangka berbuat demikian.

Kasus yang lebih mengerikan hukum opini adalah apabila hukum opini ini sudah tak terkendali dan menyentuh kasus kasus kecil di masyarakat yang kerap menerapkan street law atau hukum jalanan. Dengan dalih ketidakpercayaan terhadap institusi dan sering ada ketidakpuasan atas putusan pengadilan terhadap wong cilik, menjadikan masyarakat membuat pengadilan sendiri dan bermain hakim sendiri atas kasus yang terjadi. Yang paling dikhawatirkan sekarang adalah begitu mudahnya menggerakan massa hanya dengan sebatas opini atau penilaian kasat mata seseorang atau beberapa orang terhadap seorang pelaku kejahatan. Hal ini diperburuk dengan tindak kekerasan yang biasanya langsung terjadi di TKP dan bukan diserahkan kepada yang berwajib, sehingga tidak memberikan ruang pembelaan atau penjelasan bagi pelaku karena tidak sedikit yang berujung maut sebelum terbukti bersalah atau tidak.

Contoh kongkret adalah kasus curanmor di kota Tasikmalaya yang belum lama terjadi. TKP berada di kawasan wisata Kota Tasikmalaya, berawal dari seorang pengunjung yang membawa motor bukan miliknya ketempat tersebut, yang pada saat pulang sepertinya lupa motor yang mana yang ia pakai sehingga mencoba motor yang ada dengan kunci motor yang sebelumnya ia bawa. Secara kasat mata orang menilai bahwa orang tersebut adalah pencuri motor bukan orang baik. Sehingga ketika beberapa orang mengeluarkan suara bahwa itu maling, massa disekitar langsung menangkap dan menghajar hingga babak belur bahkan sampai meninggal dan tidak sempat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Ini tentunya menjadi sebuah pembelajaran bagi kita agar kita selalu menggunakan kepala dingin dan mempertimbangkan segala sesuatunya dalam bertindak. Berikan lah kesempatan kepada setiap orang untuk menjelaskan dan membuktikan dahulu sebelum mengambil keputusan. Orang yang secara kasat mata bersalah, belum  tentu secara fakta begitu. Coba posisikan lah diri kita seakan akan kita menjadi pelaku, maka kita juga akan merasa perlu sebuah kesempatan menjelaskan baik bersalah atau pun tidak

Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dahulu, ketika diriwayatkan ada kasus pencuri oleh seorang warganya. Pencuri itu tertangkap dan beradasarkan hukum islam orang tersebut harus dipotong tanganya. Namun, Rasulullah sebelum menjatuhkan vonis meminta agar pencuri tersebut diberi kesempatan menjelaskan apa motif utama nya ia mencuri. Si pencuri menjelaskan bahwa ia mencuri karena sudah tidak kuat menahan lapar dan memang terbukti karena terpaksa, maka Rasulullah pun membebaskan pencuri tersebut. Secara tindakan mungkin salah, tetapi kalau secara penilaian manusiawi dan kondisi yang menyebabkan keterpaksaan melakukan hal demikian tentu tidak bisa disalahkan. Bahkan yang haram pun bisa menjadi halal ketika berurusan dengan perut dan dihadapkan pada keadaan yang terbatas. Tapi bukan berarti mencuri dihalalkan, namun yang disoroti disini adalah kesempatan pembelaan, pembuktian dan penyelidikan perlu dilakukan sebelum menjatuhkan vonis. Bagaimanapun penulis tidak setuju apabila pelaku kasus criminal dibebaskan begitu saja, hanya setiap motif nya mempunyai takaran hukuman yang berbeda-beda.

Pada akhirnya penulis mengajak kepada masyarakat untuk lebih cerdas dalam menanggapi berbagai opini yang muncul baik lewat media ataupun yang sedang hangat dimasyarakat. Jangan mudah terpancing dan menjudge seseorang bersalah tanpa adanya proses hukum terlebih dahulu, apa yang kita lihat kasat mata belum tentu faktanya seperti itu. Sehingga pada akhirnya kita terhindar dari suudzon yang bisa merugikan orang lain. 

Tulisan ini hanya sebatas opini penulis yang tergugah menyampaikan pendapat atas hal yang penulis lihat, rasakan dan analisis. Bukan semata bentuk dukungan terhadap korupsi, orang tertentu atau meragukan sebuah institusi. Namun setidaknya kita harus belajar objektif, tidak mudah terpengaruh atau tergiring opini kilat yang tidak kita saring terlebih dahulu. Bagaimanapun kita sebagai WNI punya hak dan kewajiban yang sama mentaati aturan yang berlaku. Bukan berarti kita tidak boleh beropini, namun kita harus melihat dulu secara menyeluruh sebelum melakukan tindakan atau beropini, karena bisa saja apa yang kita lontarkan atau lakukan akan merugikan orang lain. Pikirkanlah kalau seandainya itu terjadi pada kita, dengan begitu kita akan lebih bijak dalam bertindak dan menilai.
Share this post :

Post a Comment

 
Support : Powered by Seven Fashion | Member of Seven Network | Manage by Seven Media
Copyright © 2013. opezone.blogspot.com - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger